Pengalaman Pahit dengan Polisi Sulsel: Catatan Pribadi Serang Anak Polisi tentang Tilang, Pungli, dan Harapan akan Reformasi
TNC GRUOP NEWS WEB.ID|-Jakarta - Tahun 2025 menjadi tahun yang paling berkesan sekaligus paling menyakitkan bagi kami dalam urusan berhadapan dengan aparat kepolisian, khususnya polisi lalu lintas di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam satu tahun itu saja, kami sudah lima kali mengalami penilangan dengan pola yang sama: bukan tilang resmi, melainkan “atur damai”.
Kejadiannya tersebar di berbagai kabupaten - Barru, Soppeng, Takalar, hingga di ujung Bantaeng dekat perbatasan Bulukumba. Setiap kali kami diberhentikan, selalu ada bahasa halus yang ujungnya meminta penyelesaian tanpa surat tilang. Situasi ini bukan hanya melelahkan, tetapi juga memalukan bagi kami sebagai warga negara yang ingin taat aturan.
Sebenarnya, menuliskan pengalaman ini pun terasa berat. Ada rasa bersalah, seolah membuka aib sendiri. Apalagi ayah kami dulu adalah seorang polisi di Kabupaten Bulukumba. Beliau sudah pensiun dan meninggal sekitar sepuluh tahun lalu, namun nama baiknya tetap kami jaga.
Itulah sebabnya kami sering pulang ke kampong - ke Soppeng atau Bulukumba, untuk menjenguk keluarga. Perjalanan itu biasanya kami tempuh bersama istri dan anak laki-laki kami, menggunakan mobil Rush yang pajaknya selalu kami bayar tepat waktu. STNK dan SIM lengkap, bahkan sebelum bepergian kami selalu melakukan servis mobil di bengkel resmi Toyota Haji Kalla di Polewali Mandar.
Namun pengalaman yang paling membekas terjadi pada September 2025. Kejadian inilah yang membuat kami benar-benar merenungkan bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan oleh oknum, dan bagaimana rakyat kecil sering kali tidak berdaya meski tahu aturan.
Awal Kejadian, hari Sabtu pukul 16.00, kami berangkat dari rumah di Jalan Abubakar Lambogo, Makassar, menuju Wonomulyo, Polewali Mandar. Saat memasuki Jalan Pettarani, tepat di ujung jalan tol dekat flyover, lampu merah menyala. Kami berhenti dengan tenang, menunggu lampu hijau bersama kendaraan lain.
Begitu lampu hijau menyala dan kami mulai menjalankan mobil, tiba-tiba seorang polisi lalu lintas berdiri tepat di depan mobil dan memberi isyarat agar kami menepi. Ia bahkan sempat mencoba meraih area kunci mobil, seolah ingin mematikannya, padahal mobil kami menggunakan sistem tanpa kunci gantung. Kami diarahkan menepi sementara kendaraan lain melaju seperti biasa.
Setelah berhenti di tempat aman, polisi itu menyapa, “Sore, Pak.” Kami menjawab sopan dan menanyakan apa masalahnya. Ia langsung meminta SIM dan STNK, yang segera kami berikan. Tanpa banyak penjelasan, ia meminta kami turun dan mengikuti ke pos polisi di ujung Pettarani.
Di dalam pos, seorang polisi lain meminta kami duduk. Tanpa memeriksa kendaraan, tanpa mengecek kondisi apa pun, ia langsung menyodorkan surat tilang dan meminta kami menandatangani. Kami terkejut dan bertanya apa kesalahan kami. Semua dokumen lengkap, sabuk pengaman kami pakai, pajak kendaraan pun sudah dibayar.
Jawaban polisi itu membuat kami makin bingung: “Penumpang di samping tidak pakai sabuk pengaman dan menelepon saat berkendara.”
Kami menjelaskan bahwa penumpang itu adalah istri kami, hanya menumpang, dan sedang menelepon anaknya yang kami tinggalkan di rumah. Apakah itu termasuk pelanggaran? Polisi itu terdiam. Lima menit berlalu tanpa jawaban. Suasana hening, seperti semua orang menahan sesuatu.
Tiba-tiba ia kembali meminta kami menandatangani surat tilang sambil membacakan pasal-pasal. Karena merasa tidak melakukan pelanggaran, kami menolak. Lagi-lagi suasana hening. Polisi lain lalu-lalang, tetapi tidak ada yang menjelaskan apa pun.
Hingga akhirnya, dengan nada rendah namun tegas, polisi itu berkata, “Titip saja uangnya lima ratus ribu.”
Kami kaget. Kami jelaskan bahwa kami tidak punya uang sebanyak itu. Kami sudah empat hari di Makassar menghadiri pernikahan keluarga dan menjenguk anak serta cucu. Kami juga guru PNS, pendapatan terbatas, dan harus kembali bekerja hari Senin. Jika kami menandatangani surat tilang, kami harus hadir sidang minggu depan, yang berarti dua kali dalam sebulan meninggalkan tugas. Kami malu pada pimpinan dan rekan kerja.
Namun polisi itu tetap bersikeras tidak akan mengembalikan SIM dan STNK tanpa uang tebusan.
Dalam hati kami marah, jengkel, dan ingin melawan. Tetapi kami teringat pesan dokter: jangan terlalu emosi karena bisa memicu stroke kedua. Tiga tahun lalu kami pernah dirawat sepuluh hari akibat stroke ringan. Sejak itu kami berhati-hati menjaga emosi.
Akhirnya, kami memberi kode kepada istri untuk berbicara dengan polisi. Kami keluar dari pos, dan istri masuk sendirian. Beberapa menit kemudian ia keluar dan berbisik bahwa polisi bersedia menerima Rp200.000, dengan syarat tidak memfoto atau menelepon siapa pun tentang kejadian itu.
Dengan berat hati, kami setuju. Setelah uang diberikan, SIM dan STNK dikembalikan. Kami melanjutkan perjalanan, tetapi hati kami panas, kecewa, dan sakit. Sepanjang perjalanan 7–8 jam menuju Polewali Mandar, kami hanya minum air dan makan kue sisa acara. Uang perjalanan sudah terpotong oleh pungli itu.
Seminggu kemudian, 25 Agustus 2025, terjadi demo besar-besaran mahasiswa dan masyarakat terhadap DPR dan kepolisian di seluruh Indonesia, termasuk Makassar. Kami mengikuti berita dengan cemas, masih menyimpan luka batin dari kejadian minggu sebelumnya.
Keesokan harinya, istri kami memberi kabar: pos polisi di Pettarani, tempat kami dipungli, hangus dibakar massa. Polisi yang bertugas kabur menyelamatkan diri.
Kami terdiam lama. Ada rasa sedih, prihatin, tetapi juga seperti melihat hukum alam bekerja. Kami bergumam, “Inilah balasan di dunia. Semoga menjadi pelajaran sebelum balasan di akhirat.”
Kami menulis pengalaman ini bukan untuk mempermalukan siapa pun, tetapi sebagai pengingat bahwa kekuasaan adalah amanah. Polisi dan anggota DPR adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang boleh semena-mena. Oknum yang menyalahgunakan jabatan harus berhenti menindas rakyat kecil. Jika ada pelanggaran kecil, cukup beri peringatan dan nasihat, bukan memeras.
Semoga bangsa ini belajar menjadi lebih bermartabat. Semoga institusi POLRI semakin bersih dan adil. Dan semoga tidak ada lagi rakyat yang diperlakukan seperti kami. (*)
_Penulis adalah guru di Sulawesi Barat, peserta lomba menulis bertema “Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia”. Informasi lengkap terkait lomba di sini: https://bit.ly/4opwDVZ_

0 Komentar